Perlu saya katakan, bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa aktif dan berperan di dunia pendidikan, kaum perempuan juga punya posisi yang sama.
Dalam keseharian, kita tentu mengenal sistem klasifikasi yang menaruh laki-laki berada di tingkatan yang lebih di atas perempuan. Lalu, bagaimana perempuan semestinya melihat posisi—yang seakan dalam agama—laki-laki lah yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan perempuan? Mari kita perlahan menelanjanginya. Satu hal yang perlu diketahui ialah bahwa agama menyatakan semua manusia itu sama.
Namun, realita justru berkata lain. Sedikit contoh: laki-laki dituntut untuk sekolah tinggi karena ia disebut sebagai pemimpin dan kepala bagi keluarganya kelak, dan sebaliknya, perempuan rata-rata dicegah bahkan tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu yang tinggi. Ada banyak alasan yang mendorong justifikasi demikian, seperti misal malu sama tetangga, sudah berumur, kok, belum menikah. Belum lagi soal “kutukan” yang menyebut ujung-ujungnya cuma ngurus anak di rumah, buat apa sekolah tinggi-tinggi, dan lain sebagainya.
Jika kita bertahan pada prinsip yang demikian, bukankah kita malah mengkhianati pesan agama yang menyebut bahwa semua manusia itu sama? Bukankah Allah Swt hanya menilai derajat manusia dari kadar keimanannya saja, alih-alih dari jenis kelaminnya? Dengan demikian, artinya perempuan semestinya punya peran yang sangat penting di dalam mendidik dan berpendidikan.
Perlu saya katakan, bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa aktif dan berperan di dunia pendidikan, kaum perempuan juga punya posisi yang sama di hadapan pendidikan. Kita tentu tahu sebuah peribahasa yang menyebutkan bahwa perempuan adalah sekolah pertama bagi keturunannya. Lalu, kenapa masih banyak yang meragukan posisi kaum perempuan di dalam berpendidikan?
Jangan hanya karena perempuan cenderung bertindak memakai perasaan, lalu menjustifikasi bahwa kebanyakan perempuan mudah terpengaruh dengan pembicaraan orang lain mengenai dirinya, lantas kita membuat perempuan tak pantas berpendidikan, bahkan setinggi-tingginya.
Hingga hari ini, kita tentu tahu masih sering terdengar stigma bahwa perempuan hanya akan berakhir di dapur, sumur, dan kasur. Stigma tersebut yang menjadikan pemikiran kaum perempuan meleyot, bahkan sampai kehilangan semangat belajarnya. Di luar itu, orang-orang jadi berbondong-bondong menghilangkan hak berpendidikan bagi perempuan yang tentu saja menghilangkan semangat belajar dari dalam diri para perempuan.
Sayangnya, masih banyak orang tua awam yang sedikit-banyak kurang tepat dalam mendidik anaknya. Terkadang, tanpa mereka sadari, mereka telah mengajarkan stereotip kepada anak-anaknya, terkhusus anak perempuannya, yang beranggapan bahwa perempuan hanya cocok hidup di ranah domestik sehingga tidak perlu menempuh pendidikan tinggi atau bahkan terjun dalam politik dan ruang publik.
Padahal, sejatinya perempuanlah yang sangat berperan penting bagi penerus-penerus bangsa. Mereka yang melahirkan anak-anak bangsa, yang membuat mereka lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anaknya. Lalu, kenapa masih banyak pemikiran yang menyudutkan perempuan dalam hal pendidikan?
Sungguh sangat miris jika masih banyak pemikiran-pemikiran orang tua yang seperti itu terhadap anak-anak nya, terkhusus anak perempuan. Jika masih dianggap wajar, maka jangan kaget jika hasilnya akan semakin banyak perempuan-perempuan yang merasa dirinya rendah karena tak paham akan suatu persoalan. Padahal kenyataannya, banyak perempuan yang memiliki potensi-potensi besar. Mari kita menengok sebentar ke catatan data Kementerian Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa sejak tahun 2019 hingga 2021, angka presentasi tenaga kerja perempuan mencapai 36,20 persen. Bukankah ironi?
Mari kita mulai meruntuhkan pemikiran lama itu dengan tanpa lelah memberikan edukasi serta motivasi tentang hak perempuan dalam kodratnya sebagai manusia. Hal itu penting dilakukan agar kita semua dapat berpikir lebih luas dan terbuka mengenai posisi perempuan di dalam kehidupan sosial yang semestinya sama dengan laki-laki. Tentunya, edukasi tersebut harus dilandasi dengan tata aturan syariat Islam yang mengharuskan perempuan menjaga aurat serta sifat malunya, dan mengharuskan laki-laki untuk menjaga pandangan serta kewibawaannya.
Penulis: Fatwa Qolbi Khoiriah, alumni ke-11 Pondok Pesantren At-Tawazun.